Minggu, 12 Mei 2013

Pendidikan Islam pada Masa Walisongo



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama islam masuk di Indonesia sekitar abad XIV. Penyebaran agama Islam di Indonesia di lakukan oleh para mubaligh dari Negeri India, dll. Mereka membawa Islam ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Awalnya Islam masuk melalui Aceh dan dengan bantuan tokoh kerajaan di sana. Lambat laun, Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Namun, sambutan masyarakat tidak mudah menerima agama baru di tempatnya. Mereka masih banyak yang memeluk agama lama yaitu Hindu, Budha maupun menyembah selain Allah. Hal ini juga disebabkan oleh Raja di wilayah Jawa masih banyak yang memeluk agama Hindu atau Budha

Ketika masa Walisongo melaksanakan tugasnya yaitu memperkenalkan agama Islam pada masyarakat Jawa, pada saat itu adalah era (kekacauan) melemahnya dominasi Hindu-Budha (Majapahit) dalam budaya Nusantara untuk kemudian digantikan dengan kebudayaan Islam, dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16. [1]
Islam masuk ke tanah Jawa melalui perkawinan maupun perdagangan oleh para mubaligh dari India, dll. Mereka adalah yang terkenal dengan sebutan walisongo atau Sembilan Wali yang tersebar di Pulau Jawa. Dalam menyebarkan agama islam para Walisongo mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri.[2] Para wali masuk dengan cara yang sangat santun dan perlahan tapi pasti. Awalnya mereka menyampaikan ajaran Islam dengan pendekatan pada para masyarakat. Kemudian mereka memasukkan nafas Islam selama sosialisasi tersebut. Lambat laun masyarakat sekitar mulai memeluk agama Islam dengan sendirinya. Karena agama Islam di ajarkan tanpa kekerasan melainkan melalui cara perdamaian.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendidikan islam pada masa Walisongo?
2.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Maulana Malik Ibrahim?
3.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Ampel?
4.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Bonang?
5.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Giri?
6.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Drajad?
7.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Muria?
8.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kudus?
9.      Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kalijaga?
10.  Bagaimana riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Gunung Jati?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pendidikan islam pada masa Walisongo
2.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Maulana Malik Ibrahim.
3.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Ampel
4.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Bonang
5.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Giri
6.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Drajad
7.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Muria
8.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kudus
9.      Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kalijaga
10.  Untuk mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Gunung Jati

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Islam pada Masa Walisongo
Interelasi Islam dan kebudayaan jawa di bidang pendidikan tidak luput dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa. Secara historis, asal-usul pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 14-16. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama berabad-abad.
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis berabad-abad yang lalu.
Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan mandala dibangun di tas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak kraton serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah tempat yang di anggap suci karena di situ tempat tinggal para pendeta atau par pertapa yang memberikan kehidupan yang patut di contoh masyarakat sekitar karena kesalehannya, dan laen-laen.


Pesantren dan mandala mempunyai persamaan-persamaan, diantaranya:
1.      Sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang kosong dan berada pada tanah perdikan atau desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa. Banyak pertapaan atau mandala di bagian timur jawa di masa Hindu yang dihuni para resi yang menjalankan latihan rohani sambil bertani. Persamaan itu ia contoh kan sebagaimana sunan kalijaga yang sering bersemedi dan melakukan tirakat di pertapaan mantingan yang sepi, yang hal itu juga dilakukan oleh para resi dalam tradisi pra-Islam.
2.      Lembaga pendidikan keagamaan Hindu Buddha mandala dan lembaga pendidikan keagamaan Islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru murid. Guru adalah bapak bagi murid dan murid berbapak kepad gurunya. Ikatran guru murid ini merupakan ciri yang umum dalam kehidupan di mandala, yaitu murid yang jauh dari orang tuanya diserahkan pendidikannya kepada guru sebagai pengganti orang tua di lembaga pendidikan pra Islam. Hubungan guru murid juga menjadi ciri dalam pendidikan Islam, terutama karena perkembangan lembaga tarekat-tarekat yang berada di pesantren.
3.      Tradisi menjalin komunikasi antardharma, yang juga dilakukan anatara pesantren dengan perjalanan rohani atau lelana. Mengambil contoh perjalan hayam wuruk yang diiringi oleh rombongan keraton untuk mengunjungi satu pertapaan ke pertapaan yang lain. Tapi ini berbeda dengan pengembangan rohani dalam tradisi pesantren dengan tradisi agama Hindu Budha. Pengembaraan rohani tersebut sangat berkaitan dengan perjalanan ilmiah yang ingin dicapai dalam tradisi pesantren, yaitu untuk menambah ilmu. Perjalanan ilmiah atau yang sebut rihlah ilmiah memunculkan santri [berarti siswa atau murid sebuah pesantren] yang terus menerus ingin menambah ilmunya.
4.      Metode pengajarannya yang disebut halaqah [lingkaran]. Dalam halaqoh kiai biasanya duduk dekat tiang, sedangkan para murid duduk di depannya membentuk lingkaran. Dalam halaqoh biasanya murid yang lebih tinggi pengetahuannya akan duduk pada posisi yang lebih dekat dengan kiai dari pada murid yang lainnya.
Pendekatan pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya yaitu sebagai berikut:
1.       Modeling
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin muslimin, nabi Muhammad SAW.
2.       Substansi Bukan Kulit Luar
Ajaran al-Qur’an dan hadits pada dasarnya berkisar dengan hubungan tuhan dengan makhluk di bumi, dan tentang bagaimana agar makhluk selamat lahir batin, dunia akhirat. Dengan demikian, tujuan Walisongo adalah untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori modalitas hubungan Allah dengan hambanya agar mudah ditangkap. Maka, ajaran tauhid adalah salah satu materi pokok yang disajikan sejak awal. Karena lebih mengutamakan pendekatan substantif, maka jika terlihat pendekatan Walisongo sering menggunakan elemen-elemen non Islam, sesungguhnya hal ini adalah alat untuk mencapai tujuan yang tidak mengurangi subtansi dan signifikansi ajaran yang diberikan.
3.      Pendidikan Islam yang Tidak Diskriminatif
Bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada masa dapat dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan akibat dalam dunia pendidikan pesantren dewasa ini. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah berkembang dalam tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, pemahaman, dan pengaripan terhadap budaya lokal, semua ini adalah bagian dari warisan Walisongo.
4.      Dengan pendekatan kasih sayang
Bagi Walisongo, mendidik merupakan tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “sayangi, hormati, dan jagalah anak didik mu, hargai lah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunan mu. Beri mereka makanan dan pakaian hingga mereka dapat menjalankan syariat islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan. [3]

B.     Sunan Maulana Malik Ibrahim
1.      Riwayat Hidup
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.[4]
Maulana Malik Ibrahim ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia. Pasai merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang toko utama dan pertama dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana Malik Ibrahim meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak dikampung Gapura di Gresik.[5]
2.      Cara Berdakwah
Syekh Maulana Malik Ibrahim diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M, beliau berdakwah di Gresik hingga wafatnya yaitu pada tahun 1419 M. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi banyak pula yang beragama Hindu, atau bahkan tiddak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qur’an.[6]
Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali lainnya adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang digembleng dengan pendidikan sistim pondok pesantren. Antara Malik Ibrahim dengan para wali yang lain atau antara para wali itu sendiri selain diikat oleh hubungan pendidikan juga diikat oleh hubungan kekeluargaan, yaitu dengan cara menjadi besan, menantu atau ipar. Sistem seperti ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad.[7]
Beberapa pendapat menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Beliau merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran.[8]

C.    Sunan Ampel
1.      Riwayat Hidup
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.[9]
Sunan Ampel mewarisi pondok pesantren ayahnya yaitu Malik Ibrahim. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban bernama Ario Tejo. Disini dapat disimpulkan adanya hubungan yang mesra antara ulama dengan umara. Hubungan itu dijalin dengan dakwah. Selain daripada itu Ario Tejo membutuhkan bantuan R.Rahmat yang besar wibawanya yang dapat mengamankan daerah Tuban, Gresik dan Surabaya. Sebagai daerah kunci kemakmuran negara. Diantara murid Sunan Ampel ialah R.Fatah putera raja Majapahit terakhir. Sunan Ampel ikut mensponsori dan mendesign berdirinya kerajaan islam yang pertama di Demak.[10]
2.      Cara Berdakwah
Di Ampel Denta Raden rahmat berhasil menjadikan daerah yang semula berair, berlumpur, dan berawa-rawa menjadi daerah yang makur yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.[11]
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina”. [12]
3.    Ajaran yang Terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafal Moh. Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
a.       Moh Main  atau tidak mau berjudi
b.      Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
c.       Moh Maling atau tidak mau mencuri
d.      Moh Madat atau tidak menghisap candu, ganja dan lain-lain
e.       Moh Madon atau tidak mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak jadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.
Raden rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di Wilayah Surabaya bahkan diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.[13]


D.    Sunan Bonang
1.      Riwayat Hidup
Menurut legenda tentang para wali di Jawa, anggota dinasti raja Tuban sungguh banyak sumbanganya dalam penyebaran agama Islam di Jawa Timur. Seorang adipati, yaitu adipati wilakta (mungkin yang mendahuluhi pate vira, yang disebut Tomé Pires), memberikan seorang putrinya sebagai istri kedua kepada Raden Rahmat dari Surabaya. Yang kelak terkenal sebagai sunan katib Ngampel Denta. Dari perkawinan ini lahirlah wali yang sangat luar biasa, dengan nama Sunan Wadad (yang hidup membujang) dari Bonang, bermukim dan giat di banyak tempat di daerah-daerah pesisir sebelah timur. Antara lain ia dikabarkkan menjadi penghulu di masjid suci Demak. Makamnya di Tuban menjadi tempat ziarah.[14]
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M, serta meninggal dunia pada tahun 1525 M. Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati. Ada yang mengatakan bahwa Dewi Condrowati itu adalah putra Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang pangeran Majapahit.[15]
Sunan Bonang menaruh perhatian yang besar pada bidang kebudayaan dan kesenian. Daerah operasinya ialah antara Surabaya dan Rembang. Beliau mengarang lagu-lagu gending Jawa yang berisi tentang Keislaman, antara lain tembang Mocopat.[16]

2.      Cara Berdakwah
Sunan Bonang mendapat pendidikan agamanya pada ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel. Daerah tugas dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat sekali menyebarkan agama Islam. Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban, di pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-kader muda Islam yang kemudian merekalah yang akan ikut juga menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama nabi-nabi.[17]
Sunan Bonang menyiarkan Islam di daerah Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean. Daerah tempat beliau tinggal adalah Bonang. Sunan Bonang sebagaimana para wali lainnya, membuat gending-gending jawa untuk berdakwah. Beliau menciptakan tembang dan gending berisikan ajaran-ajaran Islam, dan gending-gending itu sangat disenangi takyat.
Bila beliau membunyikan bonang, masyarakat sekeliling yang mendengarnya tertarik dan datanglah mereka ke masjid. Di depan masjid dibuat kolam, sehingga setiap pengunjung yang datang sudah dengan sendirinya mereka membersihkan kakinya. Bila mereka berkumpul, Sunan Bonang mengajar tembang. Tembang tersebut berisikan ajaran Islam sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi pelajaran agama Islam.[18]
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk orang yang membantu berdirinya kerajaan Islam Demak. serta ia ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak. Raden Makdum Ibrahim san Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan ajaran agama Islam hingga ke Negeri Seberang yaitu di Pasai. Mereka belajar pada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung Raden Paku. Selain itu, mereka juga belajar pada ulama besar yang banyak menetap di Pasai. Seperti Ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab dan Iran. Setelah mereka belajar di Pasai, Raden Makdum diperintahkan Sunan ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.
Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para murid-muridnya. Sunan Bonang juga adalah yang memberikan pendidikan Islam kepada Raden Patah putera dari Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai tempat untuk mendirikan negara Islam. hal ini terlihat dari kepintaranya yang tampak berpolitis, dan Sunan Bonangpun rupanya tercapai cita-citanya (impian) atas terbangunnya kerajaan Islam di Demak.
Raden Makdum Ibrahim konon menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama nabi-nabi.[19]
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati rakyat, yaitu berupa seperangkat gamelan yaitu Bonang. Boning adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya.bila tonjolan itu di pukul dengan kayu lunak maka timbullah suara yang merdu.
4.      Ajaran
Adapun kitab yang dikirakan sebagai sumber ajaran Sunan Bonang yaitu :
1.        Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali
2.      Tahmid dari Abu Syakur bin Su’aib – as-Salami
3.      Talkis al-Minhad dari Nawawi
4.      Quth al-Qulub dari Abu Thalib al-Maki
5.       Risallah al-Makiyyah fi Tharing al-Sad al-Sufiyah dari al-Tamami
6.       Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki
7.       Hayatul Auliya dari Abu Nu’aim al-Isfahani
Juga tulisan dari Abu Yazid al-Busthami, Ibnu Arabi Ibrahim al-Iraqi dan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Ajaran Sunan Bonang, baik berdasarkan naskah Dr. Gunning maupun Dr. Schrieke, memuat tiga tiang dalam agama yakni usuluddin, fiqh dan tasawuf. Isi besarnya adalah tauhid dan tasawuf yang diambil dari kitab di atas, terutama dari Ihya Ulumuddin dan Tahmid.
Ajaran Sunan Bonang merupakan aliran Ahlussunnah. Dijelaskan disana bahwa Tasawuf harus berdasarkan fiqh dan tauhid, shalat, puasa, zakat, merupakan jalan yang tidak bisa ditingggalkan. Dalam tauhid dijelaskan bahawa adanya bumi itu menunjukkan adanya Allah. Tuhan dalam ajaran sunan Bonang adalah Tuhan yang bersifat sebagaimana dalam alqur’an. Dalam hal fiqh  diberikan nasihat agar orang tidak melalaikan ketentuan yang telah diturunkan Allah lewat Rosul-Nya. Manusia harus memperhatikan lima hukum syari’at dengan baik yakni wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram.[20]
5.    Karya sastra Sunan Bonang
Sunan Bonang juga menciptakan karya sastra yang di kenal dengan sebutan suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab Salakattariiqa, artinya menempuh jalan atau tariqah. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan tembang disebut Suluk.[21]
E.     Sunan Giri
1.      Riwayat Hidup
Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh abad XIV di sebidang tanah pantai yang terlantar. Penduduk pertama adalah pelaut dan pedagang Cina. Pada abad XV perkampungan baru itu menjadi makmur; pada 1411 seorang penguasa Cina disitu mengirim utusan yang membawa surat-surat dan upeti ke Keraton Cina.[22]
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Menurut cerita tutur Jawa, seorang ahli agama berkebangsaan Arab berasal dari Jeddah, bernama Wali Lanang (Maulana Saiyid Ishaq), telah memperistri seorang putri raja kafir Blambangan (yang telah disembuhkannya dari suatu penyakit), ia mendapat seorang laki-laki dari perkawinan itu. Wali Lanang meninggalkan Blambangan karena tidak berhasil mengislamkan rajanya. Bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilempar ke laut dan kemudian diselamatkan oleh nahkoda perahu milik Nyai Gede Pinatih dari Gresik, janda pati samboja.
Anak itu diambil sebagai anak angkat, dan kemudian disuruh berguru ke Sunan Ngampel Denta, santri Bonang. Mereka berdua pergi ke Malaka dan menjadi murid wali Lanang (ayah Raden Paku). Wali Lanang memberi tugas mulia untuk menyebarkan agama islam di Jawa Timur. Sekembalinya di Gresik, beberapa waktu kemudian Raden Paku menetap di Gunung (Giri) sebagai Kiai Besar.[23] Maulana Saiyid Ishaq ayahnya kemudian pergi ke Pasai-Aceh dan ia tidak kembali lagi ke tanah Jawa. Maulana Saiyid Ishaq akhirnya mengajar di Pasai, Aceh.
2.      Cara Berdakwah
Sunan Giri mendapat pendidikannya pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang. Suatu ketika, Sunan Ampel memerintahkan kepada Maulana Makdum Ibrahim dan Raden Paku untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan menuju ke tanah Suci itu,  mereka singgah terlebih dahulu di Pasai-Aceh untuk menuntut ilmu pada para ulama di tempat tersebut. Raden Paku yang kemudian bergelar Syekh Ainul Yaqin. mengadakan tempat berkumpul di pondok pesantrennya di Giri, itu sebabnya ia dijuluki Sunan Giri. Menurut cerita, Maulana Saiyid Ishaq di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: santri Bonang pada dasarnya harus menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, tetapi Raden Paku harus menetap di Giri.
Sunan Giri Setelah Ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan pendidikan islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan islam pesantren didirikan agama islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan anak panah penyebaran islam di Jawa.[24] Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku di karuniai Ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan. Sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya.
Murid-murid Raden Paku terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata). Kontribusinya dalam hal bidang lain misalnya, ia adalah ulama yang mengirim utusan (muridnya) ke beberapa wilayah ke luar Jawa. murid-muridnya itu didelegasikan misalnya ke Bawean, Kagean, Ternate, Haruku kepulauan Maluku, dan Madura. Amatlah besar kontribusinya itu jika kita melihat dari kegiatan yang ia lakukan.
3.      Suka Duka Sunan Giri
Menurut cerita tutur Jawa, Raja Majapahit memerintahkan pembunuhan atas Sunan Giri. Namun, algojo yang dikirim bersedia memeluk agama Islam. Malahan kemudian ia menjadi pengikut Ulama itu. Sejak itulah ia memakai nama Mutalim Jagapati. Dalam dongeng-dongeng lain juga terdapat pelaku yag bernama Jagapati, teman seperjuangan Sunan Giri melawan kekuasaan kafir.
          Menurut cerita lain, Raja Majapahit bahkan mengirim Patih Gajah Mada dengan kekuatan militer untuk melawan Giri. Serangan ini di gagalkan tidak lain dan tidak bukan hanya karena daya ajaib keris kala munyeng (atau kalam munyeng) yang, meurut cerita, berasal dari alat tulis (kalam) wali itu. Dalam legenda ini kiranya “kalam” (tenaga batin) disejajarkan dengan kala munyeng, suatu kekuasaan adikodrati atau jin, yang sudah disebut-sebut di pelbagai naskah dari zaman pra-islam. Yang menarik dalam cerita ini adalah hubungan antara wali itu dan sebilah keris, yang telah ikut bertempur melawan “alam kafir”.[25]
4.      Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya menyebarkan ajaran islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara.
Di bidang kesenian beliau berjasa besar, karena beliaulah yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak yang bernafaskan islam, diantaranya: jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

F.     Sunan Drajat
1.      Riwayat Hidup
Sunan Drajad atau Syarifuddin lahir pada tahun 1470 M adalah seorang putera dari Sunan Ampel dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau sunan Bonang. Nama Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden Qosim, Sunan Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa Timur dan ia terkenal seorang waliyullah yang berjiwa sosial. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.[26]
2.      Cara Berdakwah
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri, yaitu menyebarkan agama Islam dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama. Meskipun demikian beliau juga menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwah. Karena di museum Sunan drajad terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa.
Raden Qosim adalah wali yang hidup bersahaja, walaupun beliau juga rajin mencari rizeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang sangat dermawan dan suka menolong rakyat jelata yang menderita.[27]
3.      Ajaran Sunan Drajad yang terkenal
Ajaran Sunan drajad bersumber dari:
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma
d.      Qiyas
e.       Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau orang tuanya
f.       Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada sesuai dengan ajaran Islam.[28]
Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending pangkur. Hingga sekarang gending tersebut masih di sukai rakyat jawa.[29]
G.    Sunan Muria
1.      Riwayat Hidup
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.[30]
2.      Cara Berdakwah
Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di Jawa, menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan di hilangkan, melainkan diberi warna islam. Hal ini terlihat antara lain dalam upacara selamatan yang dilaksanakan oleh orang Jawa pada waktu itu tetap dipelihara.
Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan islam. Beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.[31]
Dalam berdakwah Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria menyebarkan Islam pada daerah-daerah Jepara, Tayu, Juana dan sekitar Kudus. Dalam berdakwah beliau menggunakan metode yang tidak melawan budaya yang ada, malah mewarnai budaya dengan ajaran Islam.
Para wali telah mengubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam. Antara lain cerita Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dll. Dalam bidang politik, Sunan Muria menyongkong kerajaan Demak yang pada saat Raden Patah wafat pada tahun 1518 terjadi konflik internal.[32]

H.    Sunan Kudus
1.        Riwayat Hidup
Sunan Kudus memiliki nama kecil Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid Utsman Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.[33]
Sunan Kudus sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.[34]

2.        Cara Berdakwah
a.    Strategi Pendekatan dengan Masyarakat
Sunan kudus termasuk mendukung sunan kalijaga dan sunan bonong menerapkan strategi dakwah antara lain :
1)   Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah.
2)   Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3)   Tut wuri handayani dan menerapkan  prinsip tut wuri hangiseni.
4)   Menghindarkan konfrontasi, didalam menyiarkan islam.
5)   Pada akhirnya boleh merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tridak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat islam.
b.    Merangkul Masyarakat Hindu – Budha
Cara beliau mendekati masyarakat Kudus yaitu dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu – Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu,  Ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan Tabliqh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagumi sapi menjadi simpatik. Apalagi setelah mereka mendengarkan penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti “Sapi Betina”. Sampai sekarang sebahagian masayarakat tradisional Kudus, masih menolak menyembalih sapi.
c.    Selamatan Mitoni
Dalam cerita tutur disebutkan bahwa sunan kudus ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti mitoni pada  saat tiga bulan. Sembari minta kepada Dewa bahwa bila anakmya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya.
Adat istiadat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan kudus. Melainkan diarahkan ke bentuk islami. Acara selamatan tetap ada tetapi niatnya bukan kirim sesaji kepara para dewa , melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan lahir laki-laki seperti Nabi Yusuf tampannya. Dan bila perempuan seperti Siti Mariam cantiknya. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca surat Yusuf dan Mariam. Sebelum acara dimulai diadakanlah pembacaan laying anbiya. Biasanysa yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf.[35]

I.       Sunan Kalijaga
1.      Riwayat Hidup
Nama asli Sunan kalijaga adalah Raden Said. Beliau memiliki saudara perempuan bernama Dewi Rasawulan. Ayahnya adalah adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta yang sering disebut Raden Sahur, jadi beliau termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama islam. [36]
Sejak kecil Raden Said sudah dikenalkan dengan agama islam oleh guru agama kadipaten tuban. Beliau memiliki suara yang sangat merdu. Setiap malam selalu membaca Ayat Suci Al-Qur’an di kamarnya, tetapi karena melihat keadaan  lingkungan sekitarnya yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata diluar sana, maka jiwa muda Raden Said berontak. Beliau tidak tega melihat kesengsaraan yang dialami oleh rakyat jelata akibat kemiskinan namun tetap ada penarikan pajak yang dilakukan oleh oknum pejabat Kadipaten Tuban.
Raden Said berniat untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat jelata. Awalnya beliau menyampaikan niatan itu kepada Ayahandanya, karena tidak ada tindakan yang membantu, maka beliau memutuskan untuk bertindak dengan caranya sendiri, yaitu dengan mengambil sebagian hasil bumi yang akan disetorkan ke Majapahit lalu dibagikan kepada rakyat Tuban yang membutuhkan. Hingga pada khirnya tindakan Raden Said diketahui oleh penjaga gudang. Akibat perbuatannya beliau dihukum dengan 200 cambukan di tangan dan disekap beberapa hari.
Setelah lepas dari hukuman, Raden Said keluar dari lingkungan istana. Beliau meneruskan perjuangannya dengan menjadi perampok bertopeng yang mengambil harta orang-orang kaya yang rakus lalu membagikannya pada rakyat miskin. Hingga akhirnya Raden said bertemu dengan Sunan Bonang dan berguru padanya. Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara).[37]
2.      Cara Berdakwah
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Tuban. Beliau memilih kembali mengembara untuk melanjutkan dakwah dan penyebaran agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru Suci se Tanah Jawa, mulai dari golongan petani hingga bangsawan dan Raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap islami.[38]
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga dikenal sebagai :[39]
a.      Muballigh
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat jawa yang saat itu banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya, beliau mendekati rakyat itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah melainkan memakai pakaian adat jawa yang disalin dan disempurnakan sendiri secara islami sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerimanya dengan senang hati. Cara berdakwah tersebut sangat efektif, sebagian besar adipati di Jawa memeluk agama islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adipati Padanaran, Kartasura, Kabumen, Banyumas, serta Pajang ( sekarang Kotagede - Yogya).
b.      Ahli Budayawan
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, beduk di masjid, grebek maulud, seni tata kota, dan lain-lain.

J.      Sunan Gunung Jati
1.      Riwayat Hidup
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).[40]
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.[41]
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[42]
2.      Cara Berdakwah
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.[43]

BAB III
Penutup
Kesimpulan
Pendidikan Islam pada abad ke 15-16 diselenggarakan oleh Wali Songo yang terdiri dari Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Pada awalnya pedidikan islam yang diberikan kepada masyarakat jawa melalui dakwah-dakwah itu dilaksanaksanakan di tempat yang disebut pesantren atau mandala.
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis berabad-abad yang lalu.
Walisongo melakukan dakwahnya dengan cara masuk ke dalam budaya masyarakat jawa yang pada saat itu masih memeluk agama hindu-budha. Mereka lebih memilih langkah halus agar mudah diterima oleh masyarakat. Metode yang dilakukan yaitu dengan memasukkan nilai-nilai islam ke dalam kesenian yang digemari oleh masyarakat atau langsung bersinggungan dengan kegiatan keseharian masyarakat seperti bertani.
Ilmu yang diajarkan oleh para wali bukan hanya bersifat keagamaan, mereka juga mengajarkan tentang ilmu hitung, pertanian, perkebunan, kesehatan, dan kenegaraan. Namun ajaran paling inti yang ingin mereka salurkan adalah masalah Tauhid.



DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, 1999. Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
Rahimsyah. 2011. Kisah Perjuangan Walisongo. Surabaya : Dua Media
De Graaf & Pigeaud. 1985. Kerajaan Islam Pertama di Jawa.  Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara. Jakarta : Prenada Media Group
Djamal, Murni. 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta
http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/sejarah-pendidikan-di-jawa.html (03 Mei 2013)
http://id.wikipedia.org/wikipedia.co.id (12 Mei 2013)
http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/ (09 Mei 2013)
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/islam/walisongo.htm (09 Mei 2013)





[2] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 5145
[3] Lihat : http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/sejarah-pendidikan-di-jawa.html (03 Mei 2013)
[6] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, (Jakarta : Prenada Media Group, 2006), 12-13.
[7] Murni Djamal, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : 1985), 136.
[10] Murni Djamal, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : 1985), 137
[13] Rahimsyah, Kisah Perjuangan Walisongo, (Surabaya :Dua Media, 2011), 18.
[14] De Graaf & Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa.( Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1985), 152.
[15] Rahimsyah, Kisah Perjuangan.................. 45.
[16] Murni Djamal, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : 1985), 137
[21] Rahimsyah, Kisah Perjuangan Walisongo, (Surabaya: Dua Media, 2011), 46.

[23] De Graaf & Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, ( Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti,1985), 158.
[24] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 145
[25] De Graaf & Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, ( Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti,1985), 163.
[28] Rahimsyah. Kisah Perjuangan Walisongo, (Surabaya: Dua Media, 2011), 72.
[29] Rahimsyah. Kisah Perjuangan ...........................................74.
[30] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Muria (12 mei 2013)
[31] Lihat:  http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/ (09 mei 2013)
[32] Lihat : http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html (12 mei 2013)
[33] Rahimsyah,  Kisah perjuangan…, 57
[34] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kudus (10 mei 2013)
[35] Lihat : http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html (12 mei 2013)
[36] Rahimsyah,  Kisah perjuangan walisongo, (Surabaya: Dua Media, 2011) , 48 - 50
[37] Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga (10 mei 2013)
[38] Rahimsyah,  Kisah perjuangan…, 54
[39] Lihat : http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html (12 mei 2013)
[40] Lihat : http://www.seasite.niu.edu/indonesian/islam/walisongo.htm (09 mei 2013)
[41] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati (10 mei 2013)
[42] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati (10 Mei 2013)
[43] Lihat : http://coretan-rossi.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-masa-wali-songo.html (12 Mei 2013)

0 komentar:

Posting Komentar