GURU MI PROFESIONAL DAN TANTANGANNYA
Indah Fitriyah Ningsih
A.
Pengertian Guru Profesional
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya mengajar. Sedangkan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyatakan bahwa guru adalah seorang yang mempunyai gagasan yang
harus diwujudkan untuk kepentingan anak didik, sehingga menjunjung tinggi
mengembangkan dan menerapkan keutamaan yang menyangkut agama, kebudayaan dan
keilmuan.[1]
Profesional
adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[2]
Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi
yang di persyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran.
Kompetensi disini meliputi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial maupun akademis.
Dengan kata lain pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan
tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.[3]
B.
Ciri Guru Madrasah Profesional
Untuk mendukung
pencapaian kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum PAI (qur’an hadits,
fiqih, aqidah akhlaq, sejarah kebudayaan Islam dan bahasa arab) di tingkat
madrasah, diperlukan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan
dalampendidikan madrasah, baik pengelola madrasah, orang tua siswa, tokoh
masyarakat, siswa dan terutama guru. Dalam hal ini guru menjadi penentu dalam
mencapai keberhasilan pembelajaran, sebab ia dituntut untuk melakukan kreasi
agar tercipta suasana belajar yang efektif. Untuk itu, diperlukan tenaga guru
yang profesional dan mempunyai komitmen tinggi dalam bidang pendidikan di
madrasah. Dengan kata lain, dibutuhkan guru yang profesional, dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Selalu
membuat perencanaan konkrit dan detail yang siap untuk dilaksanakan siswa dalam
kegiatan pembelajaran.
2. Berkehendak
mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang menempatkan siswa sebagai
arsitek pembangun gagasan dan guru berfungsi untuk “melayani” dan berperan
sebagai mitra siswa supaya peristiwa belajar bermakna berlangsung pada semua
individu.
- Bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif. Guru diharapkan mengembangkan dan mengelaborasi sendiri materi pokok yang ditetapkan dalam kurikulum. Untuk itu, sikap kritis harus dimiliki oleh guru yang tercermin antara lain dari praktek pembelajaran yang mengaitkan dengan problem realitas yang ada di sekitarnya.
- Berkehendak mengubah pola tindakan dalam menetapkan peran siswa, peran guru dan gaya mengajar.
- Berani meyakinkan kepala sekolah, orang tua dan masyarakat agar dapat berpihak pada mereka terhadap beberapa inivasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit diterima oleh orang awam dengan menggunakan argumentasi yang logis dan kritis.
- Bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan seperti pembuatan alat bantu belajar, analisis materi pembelajaran, penyusunan alat penilaian yang beragam, perancangan beragam organisasi kelas dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran lainnya.[4]
C.
Kompetensi Guru Profesional
Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007
Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, adapun macam-macam
kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain:
1. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman
guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
3. Kompetensi professional
Kompetensi profesional
merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang
mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi
keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan
metodologi keilmuannya.
4.
Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan
kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.[5]
D. Komponen – Komponen
Guru Profesional
Ada 7 komponen
yang harus dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yang
profesional :
1. Guru sebagai sumber belajar
2. Guru sebagai fasilitator
3. Guru sebagai pengelola
4. Guru sebagai demonstrator
5. Guru sebagai pembimbing
6. Guru sebagai motivator
E.
Pengembangan Kompetensi Pedagogik dan Profesional Guru MI
Pembinaan dan
pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga kependidikan pada
umumnya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan
pelatihan (diklat) maupun bukan diklat, antara lain seperti berikut ini :
1.
Pendidikan
dan pelatihan
a.
In-house
training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT
adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal di kelompok kerja guru,
sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan.
b.
Program
magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksanakan di dunia kerja atau
industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional guru.
c.
Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan
antara sekolah yang baik dengan yang kurang baik, antara sekolah negeri dengan
sekolah swasta, dan sebagainya.
d.
Belajar
jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa
menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu,
melainkan dengan sistem pelatihan melalui internet dan sejenisnya.
e.
Pelatihan
berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di
lembaga-lembaga pelatihan yang diberi wewenang, dimana program disusun secara
berjenjang mulai dari jenjang dasar, menengah, lanjut dan tinggi.
f.
Kursus
singkat di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat
dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kemampuan guru dalam beberapa kemampuan
seperti kemampuan melakukan penelitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain
sebagainya.
g.
Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh
kepala sekolah dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat
dinas, rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi
dengan rekan sejawat dan sejenisnya.
h.
Pendidikan
lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan
alternatif bagi peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru.
2.
Kegiatan
selain pendidikan dan pelatihan
a. Diskusi masalah-masalah pendidikan. Diskusi ini
diselenggarakan secara berkala dengan topik diskusi sesuai dengan masalah yang
dialami di sekolah.
b. Seminar. Pengikutsertaan guru di
dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah juga dapat menjadi model
pembinaan berkelanjutan bagi peningkatan keprofesian guru.
c. Workshop. Workshop dilakukan
untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan
kompetensi maupun pengembangan karirnya.
d. Penelitian. Penelitian dapat
dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas, penelitian eksperimen
ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
e. Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis
guru dapat berbentuk diktat, buku pelajaran ataupun buku dalam bidang
pendidikan.
f. Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang
dibuat guru dapat berbentuk alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan
ajar elektronik atau animasi pembelajaran.
g.
Pembuatan
karya teknologi/karya seni. Karya
teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa karya yang bermanfaat untuk
masyarakat atau kegiatan pendidikan serta karya seni yang memiliki nilai
estetika yang diakui oleh masyarakat.[7]
F.
Guru
Profesional dalam Perspektif Islam
Guru
sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat.
Dalam pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim
Muta’lim diantara syarat seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah
menghormati guru sama seperti menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan
memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa menghormati ilmu dan gurunya.
Demikian
besar posisi dan fungsi guru sehingga menghormatinya itu lebih baik
dibandingkan sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini,
manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur
karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam
lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang guru tidak di syaratkan memiliki
kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru yang
akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan
tahun belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang
dilihat oleh masyarakat tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu
dan manfaatnya bagi masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan
stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut
ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan kemampuannya
memimpin pesantren dengan santri banyak, maka akan tersanding sertifikat gelar
Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat
ini, karena masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria
tertentu. Bahkan bila ada guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini
kemudian memiliki sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut
akan dicabut kembali oleh masyarakat.
Dalam
perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya
apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi
profesional religius. Yang
dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan
untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan
keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya
berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Allah
berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Artinya :
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu,
(karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di
tanya. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
Firman
di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki
kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini,
al-Ghazali pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan
perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid,
bagaikan ukiran dan tanah liat atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin
tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya dan bagaimana
mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok .” [8]
G. Tantangan Menjadi Guru
Profesional
Guru
sebagai tenaga professional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan
sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang
pendidikan tertentu.[9]
Semua guru pasti merasa senang saat
diberi apresiasi sebagai GURU
PROFESIONAL. Berbagai usaha dilakukan agar pekerjaan ini diakui
sebagai sebuah profesi yang profesional. Usaha tersebut seperti melanjutkan
pendidikan S1-S2, mengikuti sertifikasi, sering mengikuti
pelatihan local/nasional/internasional ,
menulis buku/jurnal, memberi pelatihan dan lain sebagainya. Tapi apakah
profesionalisme hanya diukur melalui itu semua? Harus diakui bahwa semua hal
yang telah disebutkan di atas masih belum terlihat bukti di lapangan. Kadang
sebagai pendidik saya sering tergelitik melihat status profesionalisme identik dengan
naiknya gaji/tunjangan fungsional atau posisi struktural seorang guru di tempat
mengajar/administrasi pemerintah. Tidak mengherankan progres kualitas
pendidikan Indonesia sangat lambat.[10]
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun
2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan
jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang
betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan
elan baru dalam dunia keguruan Indonesia. Dengan jaminan UU ini,
terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati
menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti
ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa
waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru
menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan
wartawan.
Profesi guru merupakan profesi yang paling diminati.
Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan
basis pendidikannya masing-masing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan
haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika
lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan, itu tidak bisa dikatakan profesional.
Dalam kaitannya dengan kesejahteraan (baca: imbalan) adalah hal wajar ketika
seorang profesional mendapatkan imbalan memadai karena dia akan bekerja
maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Hubungan antara
profesionalisme dan imbalan bersifat linear. [11]
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya
dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen
disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan
kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya
kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi
ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong).
Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah
kemampuan negara yang memang minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima,
tetapi di sisi lain sulit diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata,
sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat
minim. Jangka waktu disahkannya UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam
amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah
dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang,
termasuk ketika UU Guru dan Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini.
Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak
dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan
telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru
sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan
konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru
harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui
dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di
sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru
dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih
banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi
kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi
peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung
sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah
menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Permasalahan moral
muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis,
permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu
sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya
kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah
menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh
seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang
guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah
itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan
pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya
diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target
utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari
watak-watak pragmatis sekaligus tantangan berat profesionalisme guru.
Permasalahan dan tantangan secara struktural lebih
mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses
pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini
berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya
tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan
posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi. Posisi sosial guru menjadi
terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru,
katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal,
seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah
sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini
adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan
rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai
inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini
merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial
kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak
mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta
didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Apa yang bias disimpulkan secara sederhana dari ketiga
masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat
kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok.
Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan
pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan
masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam
konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas
seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam
menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru
telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar
apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru
seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan
Indonesia.
[4] Lihat : http://mikhmnursurabaya.wordpress.com/2011/06/21/ciri-guru-madrasah-profesional/
(24 Juni 2013)
0 komentar:
Posting Komentar