Senin, 24 Juni 2013

Tugas UAS Mata Kuliah TI



GURU MI PROFESIONAL DAN TANTANGANNYA
Indah Fitriyah Ningsih

A.     Pengertian Guru Profesional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya mengajar. Sedangkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa guru adalah seorang yang mempunyai gagasan yang harus diwujudkan untuk kepentingan anak didik, sehingga menjunjung tinggi mengembangkan dan menerapkan keutamaan yang menyangkut agama, kebudayaan dan keilmuan.[1]

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[2]
Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang di persyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi disini meliputi pengetahuan, sikap, dan  ketrampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial maupun akademis. Dengan kata lain pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.[3]



B.     Ciri Guru Madrasah Profesional
Untuk mendukung pencapaian kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum PAI (qur’an hadits, fiqih, aqidah akhlaq, sejarah kebudayaan Islam dan bahasa arab) di tingkat madrasah, diperlukan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan dalampendidikan madrasah, baik pengelola madrasah, orang tua siswa, tokoh masyarakat, siswa dan terutama guru. Dalam hal ini guru menjadi penentu dalam mencapai keberhasilan pembelajaran, sebab ia dituntut untuk melakukan kreasi agar tercipta suasana belajar yang efektif. Untuk itu, diperlukan tenaga guru yang profesional dan mempunyai komitmen tinggi dalam bidang pendidikan di madrasah. Dengan kata lain, dibutuhkan guru yang profesional, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Selalu membuat perencanaan konkrit dan detail yang siap untuk dilaksanakan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
2.      Berkehendak mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang menempatkan siswa sebagai arsitek pembangun gagasan dan guru berfungsi untuk “melayani” dan berperan sebagai mitra siswa supaya peristiwa belajar bermakna berlangsung pada semua individu.
  1. Bersikap kritis dan berani menolak kehendak yang kurang edukatif. Guru diharapkan mengembangkan dan mengelaborasi sendiri materi pokok yang ditetapkan dalam kurikulum. Untuk itu, sikap kritis harus dimiliki oleh guru yang tercermin antara lain dari praktek pembelajaran yang mengaitkan dengan problem realitas yang ada di sekitarnya.
  2. Berkehendak mengubah pola tindakan dalam menetapkan peran siswa, peran guru dan gaya mengajar.
  3. Berani meyakinkan kepala sekolah, orang tua dan masyarakat agar dapat berpihak pada mereka terhadap beberapa inivasi pendidikan yang edukatif yang cenderung sulit diterima oleh orang awam dengan menggunakan argumentasi yang logis dan kritis.
  4. Bersikap kreatif dalam membangun dan menghasilkan karya pendidikan seperti pembuatan alat bantu belajar, analisis materi pembelajaran, penyusunan alat penilaian yang beragam, perancangan beragam organisasi kelas dan perancangan kebutuhan kegiatan pembelajaran lainnya.[4]
C.     Kompetensi Guru Profesional
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, adapun macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain:
1.      Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2.      Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
3.      Kompetensi professional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya.



4.      Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[5]

D.    Komponen – Komponen Guru Profesional
Ada 7 komponen yang harus dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yang profesional :
1.      Guru sebagai sumber belajar
2.      Guru sebagai fasilitator
3.      Guru sebagai pengelola
4.      Guru sebagai demonstrator
5.      Guru sebagai pembimbing
6.      Guru sebagai motivator
7.      Guru sebagai evaluator [6]

E.     Pengembangan Kompetensi Pedagogik dan Profesional Guru MI
Pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga kependidikan pada umumnya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun bukan diklat, antara lain seperti berikut ini :
1.      Pendidikan dan pelatihan
a.       In-house training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara internal di kelompok kerja guru, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk menyelenggarakan pelatihan.
b.      Program magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksana­kan di dunia kerja atau industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional guru.
c.       Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan antara sekolah yang baik dengan yang kurang baik, antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, dan sebagainya.
d.      Belajar jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa menghadirkan instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu, melainkan dengan sistem pelatihan melalui internet dan sejenisnya.
e.       Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di lembaga-lembaga pelatihan yang diberi wewenang, dimana program disusun secara berjenjang mulai dari jenjang dasar, menengah, lanjut dan tinggi.
f.       Kursus singkat di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kemampuan guru dalam beberapa kemampuan seperti kemampuan melakukan penelitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain sebagainya.
g.      Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas, rotasi tugas mengajar, pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan rekan sejawat dan sejenisnya.
h.      Pendidikan lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan alternatif bagi peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru.
2.      Kegiatan selain pendidikan dan pelatihan
a.       Diskusi masalah-masalah pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik diskusi sesuai dengan masalah yang dialami di sekolah.
b.      Seminar. Pengikutsertaan guru di dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah juga dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan bagi peningkatan keprofesian guru.
c.       Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya.
d.      Penelitian. Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas, penelitian eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
e.       Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku pelajaran ataupun buku dalam bidang pendidikan.
f.       Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat berbentuk alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik atau animasi pembelajaran.
g.      Pembuatan karya teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa karya yang bermanfaat untuk masyarakat atau kegiatan pendidikan serta karya seni yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.[7]

F.     Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim diantara syarat seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa menghormati ilmu dan gurunya.
Demikian besar posisi dan fungsi guru se­hingga menghormatinya itu lebih baik dibandingkan seke­dar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang guru tidak di­ syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan ke­mampuannya memimpin pesantren dengan santri ban­yak, maka akan tersanding sertifikat gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kualifi­kasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius. Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok .” [8]

G.    Tantangan Menjadi Guru Profesional
Guru sebagai tenaga professional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.[9]
Semua guru pasti merasa senang saat diberi apresiasi sebagai GURU PROFESIONAL. Berbagai usaha dilakukan agar pekerjaan ini diakui sebagai sebuah profesi yang profesional. Usaha tersebut seperti melanjutkan pendidikan S1-S2, mengikuti sertifikasi, sering mengikuti pelatihan local/nasional/internasional , menulis buku/jurnal, memberi pelatihan dan lain sebagainya. Tapi apakah profesionalisme hanya diukur melalui itu semua? Harus diakui bahwa semua hal yang telah disebutkan di atas masih belum terlihat bukti di lapangan. Kadang sebagai pendidik saya sering tergelitik melihat status profesionalisme identik dengan naiknya gaji/tunjangan fungsional atau posisi struktural seorang guru di tempat mengajar/administrasi pemerintah. Tidak mengherankan progres kualitas pendidikan Indonesia sangat lambat.[10]
Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia. Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.
Profesi guru merupakan profesi yang paling diminati. Profesionalisme dalam arti dasar adalah ketika seseorang bekerja sesuai dengan basis pendidikannya masing-masing. Seorang pengajar di lembaga pendidikan haruslah berpendidikan dari lembaga pendidikan tinggi keguruan (LPTK). Ketika lulusan LPTK bekerja menjadi akuntan, itu tidak bisa dikatakan profesional. Dalam kaitannya dengan kesejahteraan (baca: imbalan) adalah hal wajar ketika seorang profesional mendapatkan imbalan memadai karena dia akan bekerja maksimal sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Hubungan antara profesionalisme dan imbalan bersifat linear. [11]
Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi.
Alibi dari minimnya kesejahteraan tersebut adalah kemampuan negara yang memang minim. Di satu sisi alibi ini bisa diterima, tetapi di sisi lain sulit diterima. Di luar alibi tersebut realitas berkata, sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, kesejahteraan guru betul-betul sangat minim. Jangka waktu disahkannya UU Guru dan Dosen ini sangatlah lama. Dalam amatan penulis, secara sederhana kondisi ini telah menimbulkan beberapa masalah dalam dinamika kehidupan guru yang tampaknya masih terkandung sampai sekarang, termasuk ketika UU Guru dan Dosen telah disahkan pemerintah baru-baru ini. Masalah tersebut adalah masalah kultural/tradisi, moral, dan struktural.
Kemunculan masalah kultural/tradisi bertitik tolak dari permasalahan waktu. Lamanya kondisi guru berada dalam ketidaksejahteraan telah membentuk tradisi-tradisi yang terinternalisasi dalam kehidupan guru sampai sekarang. Konkretnya, tradisi itu lebih mengacu pada ranah akademis.
Minimnya kesejahteraan guru telah menyebabkan konsentrasi guru terpecah menjadi beberapa sisi. Di satu sisi seorang guru harus selalu menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya secara berbarengan.
Dalam praktiknya, seorang guru sering kali lebih banyak berjibaku (baca: berkonsentrasi) dengan usahanya dalam memenuhi kesejahteraan keluarga. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Permasalahan moral muncul hampir berbarengan dengan permasalahan kultural. Hemat penulis, permasalahan moral ini bisa disamakan dengan permasalahan watak dari guru itu sendiri. Akar masalahnya sama, muncul sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan guru. Minimnya kesejahteran guru secara tidak langsung telah menggiring guru-guru dalam ruang-ruang sempit pragmatisme. Yang terbayang oleh seorang guru ketika melaksanakan proses pendidikan adalah bagaimana seorang guru bisa dengan cepat menyelesaikan target studi yang telah dirancang. Setelah itu guru bisa langsung beralih profesi sejenak demi mendapatkan tambahan pendapatan karena kesejahteraannya minim. Akhirnya, pendidikan yang seyogianya diselenggarakan melalui proses memadai terabaikan. Hasil akhir menjadi target utama dibandingkan dengan proses yang dilaksanakan. Inilah wujud nyata dari watak-watak pragmatis sekaligus tantangan berat profesionalisme guru.
Permasalahan dan tantangan secara struktural lebih mengacu pada kondisi atau struktur sosial seorang guru di luar proses pendidikan (baca: lingkungan sosial). Jika mengacu pada sumber masalah, hal ini berasal dari minimnya kesejahteraan yang dimiliki seorang guru. Minimnya tingkat kesejahteraan secara materialistis dari seorang guru telah menyebabkan posisi sosial guru di masyarakat tersubordinasi. Posisi sosial guru menjadi terkesan lebih rendah daripada masyarakat lain yang berprofesi bukan guru, katakanlah itu seorang konsultan, manajer, pengacara, dan lainnya. Padahal, seperti kita ketahui, secara hakikat, profesi yang digeluti seseorang adalah sama, tidak saling menyubordinasi. "Inferiority complex"
Yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal ini adalah efek dari subordinasi sosial tersebut. Efek tersebut adalah perasaan rendah diri dari seorang guru, atau dalam bahasa Pramoedya Ananta Toer sebagai inferiority complex. Bagi seorang guru, perasaan rendah diri seperti ini merupakan hal yang harus dihindari. Fungsi guru sebagai pentransformasi sosial kepada peserta didik memerlukan kepercayaan diri yang besar. Bukan tidak mungkin perasaan-perasaan rendah diri tersebut akan menular kepada peserta didik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya.
Apa yang bias disimpulkan secara sederhana dari ketiga masalah tersebut adalah bahwa akar permasalahan guru kontemporer adalah tingkat kesejahteraan. Minimnya tingkat kesejahteraan guru menjadi permasalahan pokok. Di luar kontroversi tentang UU Guru dan Dosen tersebut, kita mendapatkan pembenaran dari UU Guru dan Dosen tersebut, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Lima tahun pascapengesahan UU Guru dan Dosen merupakan masa transisi menuju profesionalisme guru seutuhnya. Oleh karena itu, dalam konteks menuju profesionalisme guru seutuhnya tersebut, masalah-masalah di atas seyogianya diposisikan sebagai sebuah tantangan yang harus segera dijawab.
Ketika tahun 2009 diisi oleh kerja keras guru dalam menjawab ketiga tantangan tersebut, perjuangan menuju profesionalisme guru telah melaju beberapa langkah ke depan. Dengan demikian, menjadi hal wajar apabila tahun 2009 dijadikan sebagai tahun menuju profesionalisme guru seutuhnya. Semoga tahun 2009 menjadi kado manis bagi dunia pendidikan Indonesia.





0 komentar:

Posting Komentar